Istilah
Masyarakat Indonesia Majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam
bukunya Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967), untuk
menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman
ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik.
Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang
unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal. Menurut J.S. Furnivall
masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut
oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian
rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap
masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau
bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Masyarakat yang majemuk biasanya menghadapi tantangan ketidakharmonisan dan
perubahan yang terus menerus.
Hal yang menarik kemudian dinyatakan
Pierre L. van den Berghe seputar ciri dasar dari masyarakat majemuk ini, yaitu
: (Nasikun, 1985, hal 67-68 dan Nitibaskara, 2002, hal 7) :
1.
Terjadinya
segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki
subkebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain;
2.
Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
nonkomplementer;
3.
Kurang
mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang
bersifat dasar;
4.
Secara
relative seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu
dengan kelompok yang lain;
5.
Secara
relative integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta
6.
Adanya
dominasi politik oleh suatu kelompk atas kelompok-kelompok yang lain.
Melihat
definisi Furnival dan karakteristik yang diajukan oleh Berghe, telihat bahwa
masyarakat Indonesia memilki karakteristik seperti itu. Memang secara vertikal
maupun horizontal, masyarakat kita masyarakat yang paling majemuk di Dunia,
selain Amerika Serikat dan India.
Faktor yang menyebabkan kemajemukan
masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut: Nasikun (1985, hal 38-44)
1.
Keadaan
geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari lima
pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan
penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi
kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku
jenis tersendiri.
2.
Letak
Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua
Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas
perdagangan. Hal ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemukan agama.
3.
Iklim
yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini
merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Masyarakat
majemuk biasanya tersegmentasi ke dalam kelompok yang punya subkebudayaan yang
saling berbeda. Ini mirip seperti yang diutarakan Bhikhu Parekh tentang
Keanekaragaman Subkultur, Keanekararagaman Perspektif, dan Keanekaragaman
Komunal.
Keanekaragaman
Subkultural
Menurut
Parekh, Keanekaragaman Subkultural adalah suatu kondisi dimana para anggota
masyarakat memiliki satu kebudayaan umum yang luas dianut, beberapa di antara
mereka menjalankan keyakinan dan praktek yang berbeda berkenaan dengan wilayah
kehidupan tertentu atau menempuh cara hidup mereka sendiri yang relative sangat
berbeda. Kini, kelompok-kelompok miskin urban, “punk”, kaum waria, gay,
lesbian, dan kelompok-kelompok yang oleh masyarakat umum disebut “menyimpang”
merupakan wujud dari keanekaragaman subkultural ini. Termasuk ke dalam contoh
ini adalah Komunitas Lia Eden, kelompok-kelompok “sempalan” agama mainstream.
Keanekaragaman Perspektif
Keanekaragaman Perspektif
Masih menurut
Parekh, adalah suatu kondisi di mana beberapa anggota masyarakat sangat kritis
terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan
berusaha untuk menyatakannya kembali di sepanjang garis kelompok yang sesuai.
Gerakan-gerakan Feminis dan emansipasi perempuan merupakan perwakilan
Keanekaragaman Perspektif ini. Kemudian isu-isu pembentukan masyarakat madani
di Indonesia, termasuk ke dalamnya isu-isu pembentukan Negara Islam atau Negara
Pancasila, mewakili Keanekaragaman Perspektif ini.
Keanekaragaman Komunal
Terakhir,
Keanekaragaman Komunal adalah suatu kondisi di mana sebagian besar masyarakat
yang mencakup beberapa komunitas yang sadar diri dan terorganisasi dengan baik.
Mereka menjalankan dan hidup dengan sistem keyakinan dan praktek yang berlain
antara satu kelompok dengan lainnya. Misal dari Keanekaragaman Komunal ini
adalah para imigran yang baru tiba, komunitas-komunitas Yahudi di Eropa dan
Amerika, kaum Gypsi, masyarakat Amish, kelompok-kelompok cultural yang
berkumpul secara territorial seperti kaum Basque di Spanyol. Di Indonesia masuk
ke dalam kelompok ini misalnya kawasan-kawasan Pecinan (hunian komunitas Cina),
wilayah-wilayah yang dihuni suku-suku bangsa di luar wilayahnya (komunitas
Batak di Jakarta atau Bandung, misalnya).
Asumsi
peneliti akan keanekaragaman Indonesia biasanya langsung ditujukan pada hal-hal
seperti keragaman agama, bahasa, suku bangsa, dan wilayah domisili berdasar
kepulauan tempat tinggal. Namun, ketika diperhadapkan pada pembagian pengertian
keanekaragaman menurut Parekh ini, perlu dilakukan suatu pemilahan yang tepat
atas kajian kemajemukan Indonesia selanjutnya.
Seperti yang
telah dijelaskan bahwa kemajemukan Indonesia tampak pada perbedaan warga masyarakat
secara horizontal yang terdiri atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adat dan
perbedaan-berbedaan kedaerahan.
Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun temurun.Untuk itu ras yang hidup di Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan menurut Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda. Dalam kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang berkembang di Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan (suku Baduy) serta aliran kepercayaan.
Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun temurun.Untuk itu ras yang hidup di Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan menurut Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda. Dalam kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang berkembang di Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan (suku Baduy) serta aliran kepercayaan.
Dengan
demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan
warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk
senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan
yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
2Pengaruh Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Pengaruh
kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan suku bangsa,ras dan agama dapat
dibagi atas pengaruh positif dan negatif.
Ø
Pengaruh
positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan
harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa.
Ø
Pengaruh
negatifnya antara lain :
a. Primordial Karena adanya sikap
primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa lalu tetap bertahan
sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan disebut etnosentris. Jika sikap
ini mewarnai interaksi di masyarakat maka akan timbul konflik, karena setiap
anggota masyarakat akan mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan
norma kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya integrasi sosial atau
integrasi bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi.
b. Stereotip Etnik Interaksi sosial dalam
masyarakat majemuk sering diwarnai dengan stereotip etnik yaitu pandangan
(image) umum suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain (Horton &
Hunt). Cara pandang stereotip diterapkan tanpa pandang bulu terhadap semua
anggota kelompok etnis yang distereotipkan, tanpa memperhatikan adanya
perbedaan yang bersifat individual. Stereotip etnis disalah tafsirkan dengan
menguniversalkan beberapa ciri khusus dari beberapa anggota kelompok etnis
kepada ciri khusus seluruh anggota etnis.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatif, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatif, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
c. Potensi Konflik Ciri utama masyarakat
majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940) adalah kehidupan
masyarakatnya berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi
mereka (secara essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial
yang melekat pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya mereka
dalam satu unit politik tertentu.
Mungkin
pendekatan yang relevan untuk melihat persoalan masyarakat majemuk ini adalah bahwa
perbedaan kebudayaan atau agama memang potensial untuk mendestabilkan
negara-bangsa. Karena memang terdapat perbedaan dalam orientasi dan cara
memandang kehidupan ini, sistem nilai yang tidak sama, dan agama yang dianut
masing-masing juga berlainan. Perbedaan di dalam dirinya melekat (inherent)
potensi pertentangan, suatu konflik yang tersembunyi (covert conflict). Namun
demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi konflik terbuka bila
faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks persoalan itu
nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat signifikan dalam mendorong
termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi menjadi terbuka.
Furnivall
sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk Indonesia
menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara
horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal, menunjukkan
adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi secara kelompok
etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana
produksi dan kekayaan. Ada ras, etnik, atau penganut agama tertentu yang akses
dan kontrolnya pada sumber-sumber daya ekonomi lebih besar, sementara kelompok
yang lainnya sangat kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol pada sektor
politik yang bisa dijadikan instrumen untuk pemilihan dan penguasaan
sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan bagi semua
kelompok.
Di Kalimantan
Barat dan Tengah para perantau Madura yang beragama Islam setahap demi setahap
bisa menguasai jaringan produksi dan distribusi ekonomi. Demikian pula dengan
orang-orang Bugis-Makassar dan Buton yang umumnya beragama Islam di kawasan
Timur Indonesia telah membuat jaringan yang cukup luas dalam sektor ekonomi
ini. Termasuk dalam kasus ini adalah orang-orang Cina yang sebagian besar
beragama non-Islam yang menguasai sebagian besar sarana dan aset produksi serta
jaringan distribusi di kota-kota besar dan menengah Indonesia. Ketika Orde Baru
memegang tampuk pemerintahan tampaknya ketimpangan ekonomi dan politik antar
kelompok etnik dan ras ini tidak secara sungguh-sungguh dicoba untuk
dihapuskan. Malah pemihakan pada kelompok tertentu sangat kentara, sementara
kelompok yang lain mengalami proses marjinalisasi. Di sinilah polarisasi antar
kelompok masyarakat yang berbeda secara kultural dan agama itu menjadi semakin
tajam. Di samping itu, pemerintah dan masyarakat di daerah secara politik
betul-betul lemah, tidak memiliki saluran institusional yang memungkinkan
kepentingan dan kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Di sini sentralisme adalah
ciri utama sistem politik negara Orde Baru.
Memang selama
rezim Orde Baru berkuasa konflik itu tidak banyak muncul, kalaupun terjadi
ledakannya tidak besar dan akan segera diredam secara represif. Namun
pendekatan keamanan itu tidak menghilangkan potensi konflik tersebut, karena
akar persoalannya tidak dipecahkan. Hubungan antar kelompok tetap dalam situasi
ketegangan, menunggu momen untuk meledak. Karena itu, ketika rezim Orde Baru
mulai kehilangan legitimasi dan kemudian jatuh, konflik yang tadinya laten
menjadi terbuka.
Hal ini
dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat hanya mampu menekan eskalasi konflik
dan disharmoni sosial dalam masyarakat, namun ia tidak mampu menghilangkan
poensi-potensi konflik yang telah lama dan masih terpendam dalam masyarakat.
Konflik dan disharmoni sosial dapat muncul karena mereka, kelompok-kelompok
sosial tersebut tetap hidup berdampingan secara fisik dalam suatu komunitas
masyarakat. Pembenaran atas ketidaksamaan, pada hakekatnya adalah juga sebentuk
pembenaran terhadap adanya potensi potensi konflik dalam masyarakat yang
pluralis.
2 Alternatif
Pemecahan Konflik Yang Ditimbulkan oleh Masyarakat Majemuk
Landasan sosial
dan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk (plural
society) sudah saatnya dikaji kembali. Ideologi masyarakat majemuk yang
menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin mewujudkan
masyarakat sipil yang demokratis. Untuk mencapai tujuan demokratisasi, ideologi
harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme.
Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman etnik perlu dikaji dan
digeser pada pluralisme budaya (multikulturalisme), yang mencakup tidak hanya
kebudayaan etnik, tetapi juga berbagai kebudayaan lokal yang ada di Indonesia,
dan harus dibarengi kebijakan politik nasional yang meletakkan berbagai budaya
itu dalam kesetaraan derajat. Sehingga tidak ada lagi etnik yang merasa
superior atau inferior, sebab tiada jenjang sosial karena asal etnik.
Pembagian
kewenangan (otoritas) secara tidak merata mengakibatkan dua macam kategori
sosial, yaitu mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak memiliki
otoritas. Dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan
dari mereka yang memiliki kekuasaan otoriatif. Dari hal ini, penganut
pendekatan konflik menganggap bahwa konfik merupakan gejala kemasyarakatan yang
senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat. Oleh karena itu orang
hanya dapat melakukan pengendalian konflik . Bentuk-bentuk dari pengendalian
konflik adalah :
1.
Konsiliasi,
mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik. Pihak ketiga hanya
memfasilitasi perundingan.
2.
Mediasi,
mempertemukan kedua belah pihak dimana pihak ketiga hanya bersifat menasehati
atau memberi masukan perihal konflik tersebut.
3.
Arbitation,
mempertemukan kedua belah pihak dimana pihak ketiga sebagai wasit yang
keputusannya bersifat mutlak harus dipatuhi.
1.
Asimilasi
2.
Self
Regregation
3.
Integrasi
4.
Pluralisme
ASIMILASI
Proses di mana seseorang meninggalkan tradisi budaya mereka sendiri untuk menjadi dari bagian dari budaya yang berbeda. Dengan demikian kelompok etnis yang berbeda secara bertahap dapat mengadopsi budaya dan nilai-nilai yang ada dalam kelompok besar, sehingga setelah beberapa generasi akan menjadi bagian dari masyarakat tersebut
INTEGRASI
Merupakan keadaan ketika kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap konformistis, terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, tetapi dengan tetap mempertahankan kebudayaan mereka sendiri
SELF REGREGATION
Suatu kelompok etnis mengasingkan diri
dari dari kebudayaan mayoritas, sehingga interaksi antar kelompok sedikit
sekali, atau tidak terjadi. Sehingga potensi konflik menjadi kecil
PLURALiSME
Suatu masyarakat di mana kelompok-kelompok sub ordinat tidak harus mengorbankan gaya hidup dan tradisi mereka, bahkan kebudayaan kelompok-kelompok tersebut memiliki pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat secara keseluruhan
·
Sikap Kritis, Toleransi, Dan Empati
Sosial Terhadap Hubungan Keanekaragaman Dan Perubahan Budaya
Dalam menghadapi hubungan
keanekaragaman dan perubahan kebudayaan di masyarakat, dibutuhkan sikap yang
kritis, disertai toleransi dan empati sosial terhadap perbedaan-perbedaan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Ridwan dan Elly Malihah.. Pendidikan
Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi. Bandung : Yasindo Multi Aspek (2007)
Hermawan, Ruswandi dan Kanda Rukandi. Perspektif
Sosial Budaya. Bandung: UPI PRESS (2007).
Hermawan, Ruswandi dkk.. perkembangan
masyarakat dan Budaya. Bandung : UPI PRESS (2006)
Kuswanto dan Bambang Siswanto. Sosiologi. Solo: Tiga Serangkai (2003).
Bhikhu Parekh, Rethinking
Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, (Yogyakarta:
Kanisius, 2008)
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2006)
Parsudi Suparlan, Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, (Jurnal Antropologi Indonesia 66, 2001)
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2006)
Parsudi Suparlan, Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, (Jurnal Antropologi Indonesia 66, 2001)
Komplit saya suka 😀😀😀
BalasHapusKomplit saya suka 😀😀😀
BalasHapus